Kamis, 21 Oktober 2010

Bab 2 - Chapter 2

“Aku melihat duka di masa depanmu,” ujar seorang gadis dengan dandanan gothic serba hitam berenda pada Brielle, “Duka yang sangat besar.”

“Diamlah, Maribeth! Aku tak peduli dengan omong kosongmu itu!” bentak Brielle dengan suara berbisik seraya menampik tangan Maribeth yang terulur mengerikan ke arahnya Beberapa lembar kartu Tarot yang tergenggam di tangan pucat Maribeth pun berjatuhan ke lantai. Kedua mata Brielle menatap nanar pada kuku-kuku panjang Maribeth yang di cat merah tua sementara kedua mata Maribeth yang didandani dengan eye shadow hitam tebal menatap Brielle penuh kengerian.

“Ini bukan omong kosong, Brielle,” ujar Maribeth lagi—keras kepala—seraya memunguti kartu-kartunya yang berserakan, “Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kau harus berha—“

“DIAM… ATAU KUJAHIT MULUT CEREWETMU ITU!”

Maribeth menghela napas dan mengendikkan bahu pasrah. Gadis peramal itu kembali duduk di kursinya berusaha tak memedulikan Brielle ataupun Mr Brahms yang sekarang menatap tajam ke arah mereka dengan mata menyipit. Kedua mata biru gelapnya sibuk membaca arti dari kartu tarot yang tadi hendak ditunjukkannya pada Brielle. Wajahnya nampak sangat cemas. Sesekali ia melirik ke arah Brielle. Gadis berambut ikal itu mulai sibuk menyalin pelajaran yang ditulis Mr Brahms di papan tulis dengan tekun sekalipun wajahnya merengut kesal. Bagaimana pun Brielle bersikap tak peduli, perkataan Maribeth barusan mengusik benaknya.

Duka yang sangat besar di masa depanku, gumam Brielle dalam hati. Gadis itu menggigit bibirnya, menggenggam pena di tangannya lebih keras hingga bergetar. Tak bisa disangkal, Brielle penasaran dengan apa yang dilihat Maribeth tentang masa depannya namun ia juga terlalu segan untuk bertanya. Oh, baiklah. Brielle takut mendengarnya. Duka selalu membuatnya teringat pada hari kematian Lisbeth Zephaniah—ibunya. Dan ia tak bisa membayangkan duka yang lebih besar daripada itu menanti di masa depannya. Inginnya ia tak percaya pada Maribeth tapi sudah terbukti berulang kali bahwa ramalan gadis dengan dandanan serba hitam itu benar-benar terjadi. Hal itu membuat Brielle tak bisa mengabaikan Maribeth begitu saja.

Sentuhan di punggung tangannya kemudian membuat Brielle tersadar dan menoleh. Maribeth tersenyum dan mengucapkan maaf lewat gerak bibirnya. Tak hanya itu, Maribeth juga menyodorkan sebuah sobekan kertas yang menyuruhnya untuk menganggap ramalannya barusan tak pernah diucapkan. Brielle menepis tangan Maribeth perlahan.

“Kau tahu itu tak mungkin, Maribeth,” bisiknya pasrah. Brielle kemudian mengangkat tangan kiri menopang kepalanya, membuatnya tak bisa melihat sosok Maribeth lagi dari sudut matanya. Tanda nonverbal untuk Maribeth bahwa ia tak ingin lagi diusik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar