Kamis, 21 Oktober 2010

Bab 2 - Chapter 1

“Kau mau apa?” seru seorang gadis berambut ikal sehitam arang pada seorang pemuda berambut belang biru-perak yang berjalan mendekat. Wajah pemuda itu dihiasi bekas luka melintang dari bawah mata kiri hingga ke pipi kanan. Tergaris lurus melewati batang hidungnya yang penuh jerawat.

“Menurutmu?” balas Thor seraya menyandarkan punggung pada tembok bata tepat di samping Brielle.

“Untuk apa bertanya jika aku tahu jawabannya, Thor?”

“Basa-basi?”

Brielle menaikkan sebelah alisnya menatap Thor dengan pandangan malas. Rokok yang sejak tadi dimain-mainkan di jemari dilemparnya begitu saja ke tanah lalu diinjaknya sampai hancur terkoyak. “Memangnya menurutmu aku ini suka basa-basi? Kau tak cukup mengenalku kalau begitu.”

“Hanya bercanda, dear,” Thor terkekeh. “Menghabiskan satu tahun tinggal bersamamu sudah cukup membuatku tahu seperti apa tabiatmu itu.”

“Jadi,” Brielle mendelik, “Kau mau apa kemari? Ini masih jam sekolah. Seharusnya kau tak boleh masuk, Kakak.” Penekanan pada kata kakak sengaja dilakukannya karena ia tahu Thor tak suka kata itu disebut.

Thor adalah kakak tiri yang datang ke rumah saat ayah Brielle menikah lagi dengan seorang wanita usia tiga puluhan berambut pirang yang menurut Brielle bertampang seperti pelacur. Tak perlu ditanya, Brielle benci dengan ibu tirinya dan juga pada Thor. Alasannya? Thor itu pecundang. Gila perempuan. Lagaknya sok tampan padahal wajah Thor tergolong biasa saja. Apalagi jerawat yang menumpuk di hidungnya itu membuat nilai Thor merosot jauh ke bawah. Menjijikkan. Dan alasan paling utama, Thor menyukai dirinya.

Crap. Kau tahu aku tak suka kau panggil dengan sebutan itu!”

“Aku tahu. Se-nga-ja,” balasnya cuek. Brielle melemparkan senyum sarkas pada Thor lalu berdiri tegak tak lagi bersandar pada tembok bata di belakangnya. “Pulang sana. Aku mau masuk kelas.”

“Tunggu,” tukas Thor menarik lengan Brielle dengan kasar, “Aku perlu uang.”

“Perlu uang?” Brielle mencibir, menghentak lepas lengannya dari pegangan Thor. “Kenapa malah datang padaku?”

“Ini masih awal minggu. Dad tak mungkin mau memberiku uang lagi.”

“Lalu kau mau minta dariku?” Brielle memandang jijik ke arah kakak tirinya, “Lupakan. Salahmu sendiri memboroskan uang sakumu secepat itu.”

Brielle segera membalikkan tubuh membelakangi Thor dan berjalan dengan langkah lebar-lebar. Diabaikannya suara Thor yang memanggil-manggil namanya. Brielle berbelok ke kanan, masuk ke dalam gedung Rathgar dan menghilang dari pandangan Thor. Seharusnya ia ikut doa pagi saja daripada harus bertemu dengan kakak tirinya yang menyebalkan. Sayang, penyesalan selalu saja datang terlambat.

Pertemuan dengan Thor membuat mood Brielle memburuk. Kalau saja ia tak terlalu mencintai Daniel Zephaniah—ayahnya—ia takkan membiarkan wanita pelacur itu menjadi ibu tirinya. Brielle tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Daniel jika ia mengatakan tidak saat Daniel meminta ijin menikah darinya. Pria itu sudah terlalu lama ditinggal mati oleh ibu kandung Brielle dan terlalu lama menjadi duda ternyata memang tak terlalu bagus untuk kondisi mental Daniel. Brielle sangat memahami hal itu sekalipun Daniel seringkali berpura-pura tegar di depannya. Pria itu kesepian dan juga butuh tempat pelampiasan untuk hasrat biologisnya.

Lebih baik daripada Daniel kemudian jajan di sembarang tempat atau malah berbuat tak senonoh pada putrinya sendiri.

Brielle memantapkan langkahnya menuju ke taman sekolah yang biasa disebut sebagai taman lotus oleh para murid Rathgar. Tak berniat sedikit pun untuk masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Tidak di saat suasana hatinya sedang begitu buruk seperti sekarang. Kalau pun nanti ia tertangkap basah oleh Miss Benedict, ia punya seribu satu alasan untuk dituturkan seperti ‘aku mencoba mengurangi kemungkinan terjadinya keributan di kelas, Miss’ atau ‘aku tak ingin penyakit jantung Mr Brahms kambuh karena aku telat masuk ke kelasnya’ dan sebagainya. Miss Benedict seharusnya cukup tahu apa yang akan terjadi apabila gadis bernama Brielle Zephaniah itu sedang emosi.

Langkah gadis itu santai, sesekali merapikan rambut ikalnya yang sehitam malam, kedua tangan dimasukkannya ke dalam saku celana kulitnya yang ketat. Jaket hitam dengan bahan yang sama membalut tubuh bagian atas Brielle, menyamarkan kepadatan tubuh femininnya. Jaket dengan hiasan mawar perak di dada kiri itu selalu ia pakai setiap hari, jaket favorit yang membuat Brielle dijuluki ‘Mawar Perak Inferno’—julukan yang pantas untuk seorang kekasih ketua geng motor Inferno yang terkenal di Dublin. Terkenal karena sering kebut-kebutan dan membuat keributan di malam hari.

Jemari lentik Brielle yang dihiasi dengan tiga buah cincin perak mendorong pintu kaca. Sebelah kakinya yang terbalut boots menapak masuk namun terhenti di sana. Brielle terdiam, menarik kembali kakinya. Ia berubah pikiran, mendengus kesal lalu membalikkan badan dan melangkah ke kelas. Persetan dengan jantung Mr Brahms.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar