Kamis, 21 Oktober 2010

Bab 1

Senin, 3 Mei 2010

Rathgar Highschool, Dublin 6, Irlandia

“Rapikan kemeja dan pakai dasimu. Aku akan mengantarmu ke kapel. Bersikaplah yang sopan atau kepala sekolah akan sangat keberatan melihatmu menghadiri doa pagi.” Seorang wanita paruh baya dengan hidung runcing dan kacamata bertengger di atasnya menatap Aidan dengan tatapan menyelidik dari kepala hingga ke ujung kaki. Wanita yang rambutnya sudah mulai memutih itu adalah wakil kepala sekolah Rathgar Highschool yang terkenal dengan kecerewetannya dalam soal disiplin. Tak banyak anak murid yang lepas dari pengawasan matanya yang jeli. Tak aneh bila murid-murid Rathgar menjuluki wanita itu mata elang.

“Aku akan lebih suka menunggu di kelas daripada mengikuti doa pagi, Miss Benedict,” jawab Aidan santai. Ia tak suka diperintah sekalipun oleh wanita berjabatan tinggi seperti perawan tua di hadapannya. Namun untuk kali ini, ia mengalah di bawah tatapan tajam si wanita paruh baya daripada wanita itu tiba-tiba mati karena serangan jantung di hadapannya. Dipakainya dasi biru tua bergaris putih yang disodorkan Miss Benedict di lehernya dengan gerutu di dalam hati. Asal saja. Dibiarkannya dasi itu kendur sehingga lebih mirip seperti kalung. “Puas?”

“Oh, sudahlah. Aku tak mengerti bagaimana Mr Duffy bisa menerima seorang murid pindahan yang begitu berandalan seperti dirimu, anak muda.” Miss Benedict membalikkan badan dan memberi isyarat dengan tangan kanannya meminta Aidan mengikuti. “Doa pagi sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu. Jadi kumohon kau berjalan dengan tenang dan jangan membuat keributan.”

Jarum-jarum pada jam dinding yang menggantung di depan ruangan Mrs Benedict menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aidan melangkah tegap tapi santai di belakang Miss Benedict yang membimbingnya menuju ke kapel sekolah. Rambut pirangnya yang kecoklatan agak panjang dibiarkan jatuh alami di kepalanya. Potongan yang cocok untuk wajah Aidan yang keras. Kedua iris biru beningnya bergerak-gerak perlahan menekuni segala hal yang ia lewati. Mulai dari bentuk jendela yang menurutnya tak berseni hingga lukisan-lukisan berisi motto sekolah yang tergantung di sepanjang dinding koridor.

Ini adalah hari pertama Aidan menginjak sekolah itu dengan status murid pindahan. Masuk sekolah pada awal term ke-3 tahun ajaran memanglah sangat terlambat. Karena itu Aidan sudah siap pada reaksi para siswa-siswi berseragam lengkap yang sekarang tengah menundukkan kepala dengan gestur terpaksa di kursi-kursi yang memenuhi kapel. Doa yang panjang dan membosankan dipanjatkan oleh seorang pria berjenggot putih tipis di atas mimbar. Beliau adalah Brian Duffy sang kepala sekolah.

Pintu kapel pun dibuka, Miss Benedict melangkah masuk dengan iringan suara ketukan teratur yang berasal dari hak tinggi stiletto-nya, menarik perhatian nyaris semua orang. Satu persatu kepala menoleh ke arah mereka hingga akhirnya semua pasang mata menatap ke arah Aidan. Wajah pemuda itu datar. Ia menaikkan sebelah alis dan mendengus perlahan menanggapi lebih dari tujuh ratus pasang mata yang memandangnya penuh rasa ingin tahu. Ia tetap berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tak berniat menoleh membalas tatapan orang-orang yang mulai berbisik-bisik.

Gadis-gadis pirang yang genit mulai mencicit dan tertawa-tawa kecil mencoba mencari perhatiannya. Ruang kapel pun segera dipenuhi suara bisikan yang ramai hingga Mr Duffy menghentikan doanya, berdeham keras di atas mimbar dengan nada tak sabar. “Harap tenang! Kita masih dalam suasana berdoa, kids. Bersikaplah lebih khidmat pada Tuhanmu,” ujar Mr Duffy melalui microphone di depan mulutnya.

Tak ada seorang pun yang mengindahkan. Perhatian semua orang sudah terlanjur terarah pada Aidan. Mr Duffy mendengus kesal menatap Miss Benedict dan Aidan yang sekarang tengah menempati tempat duduk terdepan. “Tak seharusnya kau bawa anak itu sekarang, Benedict. Doa pagi jadi terganggu karenanya.”

“Maafkan saya, Mr Duffy. Saya hanya ingin anak ini mengikuti semua kegiatan sekolah kita dari awal hingga akhir. Tak menduga bahwa suasana akan menjadi seperti ini.”

Aidan tersenyum timpang. Menundukkan kepala dan dengan cuek meluruskan kedua kakinya yang panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Santai. Tak terlihat terganggu dengan keadaan. Padahal ia lah yang membuat keributan tersebut terjadi. “Sudah kubilang sebelumnya kan, Miss Benedict? Lebih baik aku menunggu di kelas.” Aidan mengujar dengan nada menyindir, suaranya dikecilkan hingga hanya wanita paruh baya itu yang bisa mendengar suaranya. Miss Benedict membuang muka. Samar-samar terdengar geraman kesal dari wanita itu karena tak bisa membalas perkataan Aidan. Pemuda itu tersenyum puas.

“Hei,” seorang gadis berambut pirang menepuk pundak Aidan dengan akrab, “Kau murid pindahan, ya? Darimana?”

Aidan melirik sekilas, menyunggingkan senyum sekedarnya pada gadis barbie itu. “Pastinya bukan dari sini, Miss…?”

“Reed, Rhiannon Reed,” gadis itu mengulurkan tangan dan tersenyum dibuat-buat. Aidan menaikkan sebelah alisnya sesaat, tak berniat menyambut uluran tangan itu. “Aidan Astaroth,” jawabnya singkat dan kembali menatap ke depan. Ia melipat tangan di dada, menaikkan sebelah kaki ke atas paha dan tak menggubris tatapan galak dari Miss Benedict di sebelahnya maupun tatapan menusuk Mr Duffy di mimbar.

“Astaroth? Nama keluargamu diambil dari nama iblis?” tanya seorang gadis lain yang sepertinya teman Rhiannon dengan nada bersemangat. Gadis itu berambut merah dikepang dua dengan wajah penuh bintik cokelat dan eye-liner hitam tebal mengelilingi matanya. Tipikal pecinta okultisme.

Aidan mengerling tak suka pada gadis itu. Ia benci mendengar namanya dikait-kaitkan dengan bangsa iblis yang telah membuangnya dan memberinya hukuman tanpa akhir. “Bukan urusanmu,” jawab Aidan lambat-lambat. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya, “Permisi.” Dan ia pun melangkah keluar dari kapel. Tak peduli dengan teriakan Miss Benedict dan Rhiannon yang menyuruhnya tetap tinggal ataupun geram gusar Mr Duffy dari speaker. Riuh rendah suara-suara para murid yang melihat kejadian itu pun dengan cepat memenuhi seluruh ruangan. Doa pagi hari itu? Kacau.

Pintu kapel tertutup dengan keras di belakang Aidan. Menenggelamkan hiruk pikuk suasana di baliknya. Aidan terus berjalan. Dagunya terangkat dengan kedua tangan tetap di dalam saku celana. Ia berjalan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Menurutnya, koridor panjang itu membosankan. Tak ada yang menarik dari lukisan-lukisan tanpa nilai seni yang tergantung di sana. Ia kemudian berbelok ke kiri saat melihat tanda panah yang menunjukkan lokasi taman sekolah. Tanpa ragu Aidan membuka pintu kaca berukirkan bunga lotus dan masuk ke dalamnya.

Sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di matanya kala Aidan melangkah menyusuri jalan setapak yang tersusun dari batu-batu hitam berkilat. Taman itu masih bagian dari gedung sekolah. Luasnya kira-kira sebesar lapangan sepakbola. Dinding dan langit-langitnya terbuat dari kaca dengan ukiran bunga lotus yang sama dengan ukiran pada pintu masuknya. Berbagai jenis bunga ditanam di kanan-kiri jalan setapak juga di tengah taman membentuk lingkaran besar mengelilingi sebuah patung air mancur berbentuk malaikat bersayap satu.

Empat kursi panjang terbuat dari kayu jati berpelitur terletak mengelilingi lingkaran, membelakangi air mancur. Aidan menghampiri salah satu kursi lalu duduk di atasnya. Menyandarkan punggung dan kepala hingga kedua matanya bisa menangkap gambaran terbalik patung malaikat. Kedua tangannya terentang di sandaran kursi. Matanya kemudian terpejam. Cipratan-cipratan air menyejukkan kulit wajah Aidan yang putih.

Lima menit kemudian Aidan tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar