Kamis, 21 Oktober 2010

Bab 2 - Chapter 3

Aidan terkesiap. Kedua kelopak matanya terbuka tiba-tiba saat sebuah sentuhan lembut ia rasakan di sekitar tengkuknya. Sesaat ia lupa di mana ia berada hingga ketegangan pun menguasai kelima inderanya. Tubuhny a menegak, tatapannya nyalang menyapu ruangan lalu berhenti pada sosok perempuan yang duduk di sampingnya.

“Rhiannon?”

“Senang mengetahui kau mengingat namaku, Aidan,” gadis berambut pirang itu tersenyum genit, “Aku mengikutimu kemari. Awalnya ingin mengajakmu ke kelas tapi melihatmu tertidur begitu pulas, aku mengubah keputusanku lalu menunggumu terbangun.”

“Berapa lama aku tidur?” Pemuda itu berdiri meregangkan persendian yang kaku setelah tidur di tempat yang tidak terlalu nyaman. Tak memedulikan tingkah genit yang dilakukan si gadis barbie.

“Tak terlalu lama,” jawab Rhiannon ikut berdiri lalu meletakkan kedua tangannya di pundak Aidan dari belakang. Pemuda itu hanya diam ketika si gadis barbie mendekatkan wajah ke telinganya, “sekitar 30 menit.”

“Tanganmu,” ujar Aidan dingin.

“Eh?”

“Singkirkan tanganmu,” Aidan mendesis seraya menepis kedua tangan Rhiannon dari pundaknya, “Lain kali tak perlu sedekat itu jika bicara denganku.”

Rhiannon segera mengangkat tangannya dengan wajah memerah, “Kau juga tak perlu segalak itu. Aku hanya mencoba ramah denganmu saja. Tidak ada niatan lain.”

Aidan tersenyum timpang, menatap si gadis barbie sekilas lalu membuang muka. Pemuda itu melangkah dengan malas menyusuri jalan setapak buatan yang ada dalam taman tersebut. Kedua tangannya kembali menyusup ke balik saku celananya. Dipandanginya satu per satu tanaman yang ada di ruangan kaca itu, kebanyakan varietas bebungaan penghias ruangan yang tak terlalu banyak gunanya kecuali satu yang ditanam di pojok terjauh.

“Itu Vervain,” Rhiannon memecah keheningan tiba-tiba, “Konon tanaman itu bisa melumpuhkan vampir.”

Pemuda itu menyeringai. Membalik badan hingga berdiri berhadapan dengan si gadis barbie. Kedua matanya menyipit bersamaan dengan satu dua langkah lambat yang dibuatnya. Rhiannon perlahan mundur, merasakan aura intimidasi dari tatapan Aidan namun akhirnya berhenti ketika punggungnya tertahan oleh dinding kaca di belakangnya. Wajah Rhiannon memucat.

“Kau benar. Vampir akan kehilangan kekuatannya jika menghirup aroma vervain. Pernah bertemu dengan vampir sebelumnya?”

Rhiannon menggeleng, “Mereka hanya rekaan. Ti-tidak ada vampir di dunia ini.”

“Kau yakin?” Aidan mendekatkan wajah hingga ujung hidungnya bersentuhan dengan ujung hidung Rhiannon. Pemuda itu lalu terdiam ketika samar-samar ia mencium bau yang dicari-carinya. Darah. Bau darah dari perawan yang terpilih yang ia cari-cari untuk menjadi santapannya 20 tahun ke depan. Ekspresinya perlahan menjadi lebih rileks. Jemarinya membelai lembut pipi si gadis barbie lalu ia tersenyum, “Kau perawan.”

“D-darimana kau tahu?” Wajah Rhiannon memerah. Malu-malu membalas senyum si pemuda dan menikmati belaian lembut di sisi wajahnya meski dalam hati si gadis bertanya-tanya apa gerangan yang membuat tingkah Aidan berubah sedemikian cepat kepadanya. Jawaban Aidan hanya sebuah senyum yang berlanjut dengan sebuah ciuman di bibir si gadis barbie. Ciuman akan membuat gadis seperti Rhiannon luluh dan berhenti bertanya-tanya. Gadis itu mengulurkan kedua tangannya memeluk leher Aidan, membiarkan pemuda itu terus menciuminya tanpa tahu apa sesungguhnya yang ada di benak si pemuda.

Bau darah itu kemudian menghilang namun Aidan tidak menyadarinya. Kelegaan karena telah menemukan apa yang ia cari membuatnya lengah. Tujuannya sekarang hanya satu. Menaklukkan hati si gadis barbie untuk memudahkan dirinya memuaskan rasa lapar saat purnama datang.

Bab 2 - Chapter 2

“Aku melihat duka di masa depanmu,” ujar seorang gadis dengan dandanan gothic serba hitam berenda pada Brielle, “Duka yang sangat besar.”

“Diamlah, Maribeth! Aku tak peduli dengan omong kosongmu itu!” bentak Brielle dengan suara berbisik seraya menampik tangan Maribeth yang terulur mengerikan ke arahnya Beberapa lembar kartu Tarot yang tergenggam di tangan pucat Maribeth pun berjatuhan ke lantai. Kedua mata Brielle menatap nanar pada kuku-kuku panjang Maribeth yang di cat merah tua sementara kedua mata Maribeth yang didandani dengan eye shadow hitam tebal menatap Brielle penuh kengerian.

“Ini bukan omong kosong, Brielle,” ujar Maribeth lagi—keras kepala—seraya memunguti kartu-kartunya yang berserakan, “Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kau harus berha—“

“DIAM… ATAU KUJAHIT MULUT CEREWETMU ITU!”

Maribeth menghela napas dan mengendikkan bahu pasrah. Gadis peramal itu kembali duduk di kursinya berusaha tak memedulikan Brielle ataupun Mr Brahms yang sekarang menatap tajam ke arah mereka dengan mata menyipit. Kedua mata biru gelapnya sibuk membaca arti dari kartu tarot yang tadi hendak ditunjukkannya pada Brielle. Wajahnya nampak sangat cemas. Sesekali ia melirik ke arah Brielle. Gadis berambut ikal itu mulai sibuk menyalin pelajaran yang ditulis Mr Brahms di papan tulis dengan tekun sekalipun wajahnya merengut kesal. Bagaimana pun Brielle bersikap tak peduli, perkataan Maribeth barusan mengusik benaknya.

Duka yang sangat besar di masa depanku, gumam Brielle dalam hati. Gadis itu menggigit bibirnya, menggenggam pena di tangannya lebih keras hingga bergetar. Tak bisa disangkal, Brielle penasaran dengan apa yang dilihat Maribeth tentang masa depannya namun ia juga terlalu segan untuk bertanya. Oh, baiklah. Brielle takut mendengarnya. Duka selalu membuatnya teringat pada hari kematian Lisbeth Zephaniah—ibunya. Dan ia tak bisa membayangkan duka yang lebih besar daripada itu menanti di masa depannya. Inginnya ia tak percaya pada Maribeth tapi sudah terbukti berulang kali bahwa ramalan gadis dengan dandanan serba hitam itu benar-benar terjadi. Hal itu membuat Brielle tak bisa mengabaikan Maribeth begitu saja.

Sentuhan di punggung tangannya kemudian membuat Brielle tersadar dan menoleh. Maribeth tersenyum dan mengucapkan maaf lewat gerak bibirnya. Tak hanya itu, Maribeth juga menyodorkan sebuah sobekan kertas yang menyuruhnya untuk menganggap ramalannya barusan tak pernah diucapkan. Brielle menepis tangan Maribeth perlahan.

“Kau tahu itu tak mungkin, Maribeth,” bisiknya pasrah. Brielle kemudian mengangkat tangan kiri menopang kepalanya, membuatnya tak bisa melihat sosok Maribeth lagi dari sudut matanya. Tanda nonverbal untuk Maribeth bahwa ia tak ingin lagi diusik.

Bab 2 - Chapter 1

“Kau mau apa?” seru seorang gadis berambut ikal sehitam arang pada seorang pemuda berambut belang biru-perak yang berjalan mendekat. Wajah pemuda itu dihiasi bekas luka melintang dari bawah mata kiri hingga ke pipi kanan. Tergaris lurus melewati batang hidungnya yang penuh jerawat.

“Menurutmu?” balas Thor seraya menyandarkan punggung pada tembok bata tepat di samping Brielle.

“Untuk apa bertanya jika aku tahu jawabannya, Thor?”

“Basa-basi?”

Brielle menaikkan sebelah alisnya menatap Thor dengan pandangan malas. Rokok yang sejak tadi dimain-mainkan di jemari dilemparnya begitu saja ke tanah lalu diinjaknya sampai hancur terkoyak. “Memangnya menurutmu aku ini suka basa-basi? Kau tak cukup mengenalku kalau begitu.”

“Hanya bercanda, dear,” Thor terkekeh. “Menghabiskan satu tahun tinggal bersamamu sudah cukup membuatku tahu seperti apa tabiatmu itu.”

“Jadi,” Brielle mendelik, “Kau mau apa kemari? Ini masih jam sekolah. Seharusnya kau tak boleh masuk, Kakak.” Penekanan pada kata kakak sengaja dilakukannya karena ia tahu Thor tak suka kata itu disebut.

Thor adalah kakak tiri yang datang ke rumah saat ayah Brielle menikah lagi dengan seorang wanita usia tiga puluhan berambut pirang yang menurut Brielle bertampang seperti pelacur. Tak perlu ditanya, Brielle benci dengan ibu tirinya dan juga pada Thor. Alasannya? Thor itu pecundang. Gila perempuan. Lagaknya sok tampan padahal wajah Thor tergolong biasa saja. Apalagi jerawat yang menumpuk di hidungnya itu membuat nilai Thor merosot jauh ke bawah. Menjijikkan. Dan alasan paling utama, Thor menyukai dirinya.

Crap. Kau tahu aku tak suka kau panggil dengan sebutan itu!”

“Aku tahu. Se-nga-ja,” balasnya cuek. Brielle melemparkan senyum sarkas pada Thor lalu berdiri tegak tak lagi bersandar pada tembok bata di belakangnya. “Pulang sana. Aku mau masuk kelas.”

“Tunggu,” tukas Thor menarik lengan Brielle dengan kasar, “Aku perlu uang.”

“Perlu uang?” Brielle mencibir, menghentak lepas lengannya dari pegangan Thor. “Kenapa malah datang padaku?”

“Ini masih awal minggu. Dad tak mungkin mau memberiku uang lagi.”

“Lalu kau mau minta dariku?” Brielle memandang jijik ke arah kakak tirinya, “Lupakan. Salahmu sendiri memboroskan uang sakumu secepat itu.”

Brielle segera membalikkan tubuh membelakangi Thor dan berjalan dengan langkah lebar-lebar. Diabaikannya suara Thor yang memanggil-manggil namanya. Brielle berbelok ke kanan, masuk ke dalam gedung Rathgar dan menghilang dari pandangan Thor. Seharusnya ia ikut doa pagi saja daripada harus bertemu dengan kakak tirinya yang menyebalkan. Sayang, penyesalan selalu saja datang terlambat.

Pertemuan dengan Thor membuat mood Brielle memburuk. Kalau saja ia tak terlalu mencintai Daniel Zephaniah—ayahnya—ia takkan membiarkan wanita pelacur itu menjadi ibu tirinya. Brielle tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Daniel jika ia mengatakan tidak saat Daniel meminta ijin menikah darinya. Pria itu sudah terlalu lama ditinggal mati oleh ibu kandung Brielle dan terlalu lama menjadi duda ternyata memang tak terlalu bagus untuk kondisi mental Daniel. Brielle sangat memahami hal itu sekalipun Daniel seringkali berpura-pura tegar di depannya. Pria itu kesepian dan juga butuh tempat pelampiasan untuk hasrat biologisnya.

Lebih baik daripada Daniel kemudian jajan di sembarang tempat atau malah berbuat tak senonoh pada putrinya sendiri.

Brielle memantapkan langkahnya menuju ke taman sekolah yang biasa disebut sebagai taman lotus oleh para murid Rathgar. Tak berniat sedikit pun untuk masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Tidak di saat suasana hatinya sedang begitu buruk seperti sekarang. Kalau pun nanti ia tertangkap basah oleh Miss Benedict, ia punya seribu satu alasan untuk dituturkan seperti ‘aku mencoba mengurangi kemungkinan terjadinya keributan di kelas, Miss’ atau ‘aku tak ingin penyakit jantung Mr Brahms kambuh karena aku telat masuk ke kelasnya’ dan sebagainya. Miss Benedict seharusnya cukup tahu apa yang akan terjadi apabila gadis bernama Brielle Zephaniah itu sedang emosi.

Langkah gadis itu santai, sesekali merapikan rambut ikalnya yang sehitam malam, kedua tangan dimasukkannya ke dalam saku celana kulitnya yang ketat. Jaket hitam dengan bahan yang sama membalut tubuh bagian atas Brielle, menyamarkan kepadatan tubuh femininnya. Jaket dengan hiasan mawar perak di dada kiri itu selalu ia pakai setiap hari, jaket favorit yang membuat Brielle dijuluki ‘Mawar Perak Inferno’—julukan yang pantas untuk seorang kekasih ketua geng motor Inferno yang terkenal di Dublin. Terkenal karena sering kebut-kebutan dan membuat keributan di malam hari.

Jemari lentik Brielle yang dihiasi dengan tiga buah cincin perak mendorong pintu kaca. Sebelah kakinya yang terbalut boots menapak masuk namun terhenti di sana. Brielle terdiam, menarik kembali kakinya. Ia berubah pikiran, mendengus kesal lalu membalikkan badan dan melangkah ke kelas. Persetan dengan jantung Mr Brahms.

Bab 1

Senin, 3 Mei 2010

Rathgar Highschool, Dublin 6, Irlandia

“Rapikan kemeja dan pakai dasimu. Aku akan mengantarmu ke kapel. Bersikaplah yang sopan atau kepala sekolah akan sangat keberatan melihatmu menghadiri doa pagi.” Seorang wanita paruh baya dengan hidung runcing dan kacamata bertengger di atasnya menatap Aidan dengan tatapan menyelidik dari kepala hingga ke ujung kaki. Wanita yang rambutnya sudah mulai memutih itu adalah wakil kepala sekolah Rathgar Highschool yang terkenal dengan kecerewetannya dalam soal disiplin. Tak banyak anak murid yang lepas dari pengawasan matanya yang jeli. Tak aneh bila murid-murid Rathgar menjuluki wanita itu mata elang.

“Aku akan lebih suka menunggu di kelas daripada mengikuti doa pagi, Miss Benedict,” jawab Aidan santai. Ia tak suka diperintah sekalipun oleh wanita berjabatan tinggi seperti perawan tua di hadapannya. Namun untuk kali ini, ia mengalah di bawah tatapan tajam si wanita paruh baya daripada wanita itu tiba-tiba mati karena serangan jantung di hadapannya. Dipakainya dasi biru tua bergaris putih yang disodorkan Miss Benedict di lehernya dengan gerutu di dalam hati. Asal saja. Dibiarkannya dasi itu kendur sehingga lebih mirip seperti kalung. “Puas?”

“Oh, sudahlah. Aku tak mengerti bagaimana Mr Duffy bisa menerima seorang murid pindahan yang begitu berandalan seperti dirimu, anak muda.” Miss Benedict membalikkan badan dan memberi isyarat dengan tangan kanannya meminta Aidan mengikuti. “Doa pagi sudah dimulai sejak 30 menit yang lalu. Jadi kumohon kau berjalan dengan tenang dan jangan membuat keributan.”

Jarum-jarum pada jam dinding yang menggantung di depan ruangan Mrs Benedict menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aidan melangkah tegap tapi santai di belakang Miss Benedict yang membimbingnya menuju ke kapel sekolah. Rambut pirangnya yang kecoklatan agak panjang dibiarkan jatuh alami di kepalanya. Potongan yang cocok untuk wajah Aidan yang keras. Kedua iris biru beningnya bergerak-gerak perlahan menekuni segala hal yang ia lewati. Mulai dari bentuk jendela yang menurutnya tak berseni hingga lukisan-lukisan berisi motto sekolah yang tergantung di sepanjang dinding koridor.

Ini adalah hari pertama Aidan menginjak sekolah itu dengan status murid pindahan. Masuk sekolah pada awal term ke-3 tahun ajaran memanglah sangat terlambat. Karena itu Aidan sudah siap pada reaksi para siswa-siswi berseragam lengkap yang sekarang tengah menundukkan kepala dengan gestur terpaksa di kursi-kursi yang memenuhi kapel. Doa yang panjang dan membosankan dipanjatkan oleh seorang pria berjenggot putih tipis di atas mimbar. Beliau adalah Brian Duffy sang kepala sekolah.

Pintu kapel pun dibuka, Miss Benedict melangkah masuk dengan iringan suara ketukan teratur yang berasal dari hak tinggi stiletto-nya, menarik perhatian nyaris semua orang. Satu persatu kepala menoleh ke arah mereka hingga akhirnya semua pasang mata menatap ke arah Aidan. Wajah pemuda itu datar. Ia menaikkan sebelah alis dan mendengus perlahan menanggapi lebih dari tujuh ratus pasang mata yang memandangnya penuh rasa ingin tahu. Ia tetap berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tak berniat menoleh membalas tatapan orang-orang yang mulai berbisik-bisik.

Gadis-gadis pirang yang genit mulai mencicit dan tertawa-tawa kecil mencoba mencari perhatiannya. Ruang kapel pun segera dipenuhi suara bisikan yang ramai hingga Mr Duffy menghentikan doanya, berdeham keras di atas mimbar dengan nada tak sabar. “Harap tenang! Kita masih dalam suasana berdoa, kids. Bersikaplah lebih khidmat pada Tuhanmu,” ujar Mr Duffy melalui microphone di depan mulutnya.

Tak ada seorang pun yang mengindahkan. Perhatian semua orang sudah terlanjur terarah pada Aidan. Mr Duffy mendengus kesal menatap Miss Benedict dan Aidan yang sekarang tengah menempati tempat duduk terdepan. “Tak seharusnya kau bawa anak itu sekarang, Benedict. Doa pagi jadi terganggu karenanya.”

“Maafkan saya, Mr Duffy. Saya hanya ingin anak ini mengikuti semua kegiatan sekolah kita dari awal hingga akhir. Tak menduga bahwa suasana akan menjadi seperti ini.”

Aidan tersenyum timpang. Menundukkan kepala dan dengan cuek meluruskan kedua kakinya yang panjang lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Santai. Tak terlihat terganggu dengan keadaan. Padahal ia lah yang membuat keributan tersebut terjadi. “Sudah kubilang sebelumnya kan, Miss Benedict? Lebih baik aku menunggu di kelas.” Aidan mengujar dengan nada menyindir, suaranya dikecilkan hingga hanya wanita paruh baya itu yang bisa mendengar suaranya. Miss Benedict membuang muka. Samar-samar terdengar geraman kesal dari wanita itu karena tak bisa membalas perkataan Aidan. Pemuda itu tersenyum puas.

“Hei,” seorang gadis berambut pirang menepuk pundak Aidan dengan akrab, “Kau murid pindahan, ya? Darimana?”

Aidan melirik sekilas, menyunggingkan senyum sekedarnya pada gadis barbie itu. “Pastinya bukan dari sini, Miss…?”

“Reed, Rhiannon Reed,” gadis itu mengulurkan tangan dan tersenyum dibuat-buat. Aidan menaikkan sebelah alisnya sesaat, tak berniat menyambut uluran tangan itu. “Aidan Astaroth,” jawabnya singkat dan kembali menatap ke depan. Ia melipat tangan di dada, menaikkan sebelah kaki ke atas paha dan tak menggubris tatapan galak dari Miss Benedict di sebelahnya maupun tatapan menusuk Mr Duffy di mimbar.

“Astaroth? Nama keluargamu diambil dari nama iblis?” tanya seorang gadis lain yang sepertinya teman Rhiannon dengan nada bersemangat. Gadis itu berambut merah dikepang dua dengan wajah penuh bintik cokelat dan eye-liner hitam tebal mengelilingi matanya. Tipikal pecinta okultisme.

Aidan mengerling tak suka pada gadis itu. Ia benci mendengar namanya dikait-kaitkan dengan bangsa iblis yang telah membuangnya dan memberinya hukuman tanpa akhir. “Bukan urusanmu,” jawab Aidan lambat-lambat. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya, “Permisi.” Dan ia pun melangkah keluar dari kapel. Tak peduli dengan teriakan Miss Benedict dan Rhiannon yang menyuruhnya tetap tinggal ataupun geram gusar Mr Duffy dari speaker. Riuh rendah suara-suara para murid yang melihat kejadian itu pun dengan cepat memenuhi seluruh ruangan. Doa pagi hari itu? Kacau.

Pintu kapel tertutup dengan keras di belakang Aidan. Menenggelamkan hiruk pikuk suasana di baliknya. Aidan terus berjalan. Dagunya terangkat dengan kedua tangan tetap di dalam saku celana. Ia berjalan tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan. Menurutnya, koridor panjang itu membosankan. Tak ada yang menarik dari lukisan-lukisan tanpa nilai seni yang tergantung di sana. Ia kemudian berbelok ke kiri saat melihat tanda panah yang menunjukkan lokasi taman sekolah. Tanpa ragu Aidan membuka pintu kaca berukirkan bunga lotus dan masuk ke dalamnya.

Sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di matanya kala Aidan melangkah menyusuri jalan setapak yang tersusun dari batu-batu hitam berkilat. Taman itu masih bagian dari gedung sekolah. Luasnya kira-kira sebesar lapangan sepakbola. Dinding dan langit-langitnya terbuat dari kaca dengan ukiran bunga lotus yang sama dengan ukiran pada pintu masuknya. Berbagai jenis bunga ditanam di kanan-kiri jalan setapak juga di tengah taman membentuk lingkaran besar mengelilingi sebuah patung air mancur berbentuk malaikat bersayap satu.

Empat kursi panjang terbuat dari kayu jati berpelitur terletak mengelilingi lingkaran, membelakangi air mancur. Aidan menghampiri salah satu kursi lalu duduk di atasnya. Menyandarkan punggung dan kepala hingga kedua matanya bisa menangkap gambaran terbalik patung malaikat. Kedua tangannya terentang di sandaran kursi. Matanya kemudian terpejam. Cipratan-cipratan air menyejukkan kulit wajah Aidan yang putih.

Lima menit kemudian Aidan tertidur.

Prolog

Saat keinginan terbesar tak mungkin tergapai
Itulah waktunya “selamat tinggal” terucap

Diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu, itu adalah manusia. Diciptakan dari api, bersifat kekal dan akan dilenyapkan tanpa bekas jika ingin berakhir, itu adalah iblis. Aku, terperangkap di tengah-tengah. Terlahir dari hubungan terlarang antara seorang manusia dengan iblis. Aku makhluk yang cacat. Tak sempurna. Tak sepenuhnya manusia, tak sepenuhnya iblis. Aku tak diterima. Dibuang dari kedua kaumku. Mereka menyebutku demonim. Makhluk separuh iblis separuh manusia. Aku berwujud seperti manusia namun pertumbuhanku terhenti ketika aku menginjak usia 17 tahun.

Seratus tahun telah terlewati. Ibu manusiaku sudah lama mati. Ayah iblisku dilenyapkan karena dianggap melecehkan hukum neraka ketika aku terlahir dari rahim manusia. Kini aku sendirian. Aku menghabiskan hidup di banyak tempat, berpindah setiap kali orang-orang sekitar menyadari aku tak menua lalu kembali lagi setelah generasi berganti. Dan, aku selalu sendiri. Tak perlu susah-susah bertahan hidup karena aku kekal sekalipun darah manusia terpilih menjadi ekstasi yang menyesakkan bagiku. Darah yang tak mudah dicari. Hanya satu orang setiap 20 tahun yang terpilih untuk menjadi target buruanku. Aku tak boleh membunuh mangsaku atau aku harus memasuki masa penantian yang teramat panjang. Aku harus berjuang sendiri mencari cara agar manusia terpilih itu bersedia memberi darahnya untuk kuminum pada setiap purnama atau sebagai ganjarannya, tubuhku akan tersiksa karena sakit yang tak tertahankan.

Hukuman karena aku terlahir ke dunia.